Antara Keterpaksaan dan Kebutuhan: Potret Buram Dunia Pendidikan Kita

PAPARANKITA. Akhir-akhir ini, suasana di banyak sekolah tampak sibuk. Para siswa dan siswi tengah bersiap menutup satu babak penting dalam hidup mereka: kelulusan. Dari Sekolah Dasar (SD) menuju Sekolah Menengah Pertama (SMP), dari SMP menuju Sekolah Menengah Atas (SMA) atau kejuruan—semua menjadi bagian dari siklus pendidikan yang seharusnya menyenangkan dan penuh harapan.

Namun, di balik keceriaan para siswa menyambut masa depan, terselip kisah lain yang membuat miris: munculnya pungutan liar yang dibungkus dalam istilah “uang ijazah”. Isu yang beredar di tengah masyarakat menyebutkan bahwa beberapa kepala sekolah memungut biaya hingga Rp100 ribu hanya untuk selembar ijazah—dokumen penting yang menjadi hak setiap lulusan.

Ini bukan persoalan besar dari segi angka semata. Tapi ketika pungutan seperti ini dibebankan kepada keluarga yang secara ekonomi kesulitan, maka nilainya menjadi sangat berat. Apalagi jika pungutan itu tidak memiliki dasar hukum yang jelas. Aneh memang, di saat dunia pendidikan semestinya menjadi tempat mendidik karakter dan kejujuran, praktik-praktik seperti ini masih saja terjadi.

Pertanyaannya, apakah ini murni karena kebutuhan operasional sekolah, atau hanya bentuk keterpaksaan yang dibebankan kepada siswa dan orang tua? Ataukah justru ini menjadi celah baru untuk menormalisasi pungutan liar atas nama “keperluan administrasi”?

Pendidikan semestinya menjadi ruang tumbuh yang bersih dan adil. Sudah seharusnya kita membuka mata dan bertanya: apakah dunia pendidikan kita benar-benar sedang menuju kemajuan, atau justru terjebak dalam praktik yang mencederai makna pendidikan itu sendiri? ( Jaka )

 

Related posts
Tutup
Tutup